Sebelumnya Cerita tentang Asal Usul Nama Palembang, sekarang Cerita.web.id masih bercerita tentang cerita rakyat dari Sumatera Selatan yaitu Legenda Pulo Kemaro.
Legenda Pulo Kemaro adalah sebuah legenda yang mengisahkan asal mula
terjadinya Pulau Kemaro di daerah Palembang, Sumatra Selatan, Indonesia.
Menurut cerita, pulau tersebut merupakan penjelmaan Siti Fatimah putri
Raja Sriwijaya yang menceburkan diri ke Sungai Musi hingga tewas.
Peristiwa tewasnya putra Raja Sriwijaya tersebut disebabkan oleh
tindakan ceroboh yang dilakukan oleh kekasihnya bernama Tan Bun Ann,
putra Raja Negeri Cina. Kecerobohan apa yang telah dilakukan oleh Tan
Bun Ann? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Legenda Pulo Kemaro
berikut ini.
* * *
Alkisah, di daerah Sumatra Selatan, tersebutlah seorang raja yang
bertahta di Kerajaan Sriwijaya. Raja tersebut mempunyai seorang putri
yang cantik jelita bernama Siti Fatimah. Selain cantik, ia juga
berperangai baik. Sopan-santun dan tutur bahasanya yang lembut
mencerminkan sifat seorang putri raja. Kecantikan dan keelokan
perangainya mengundang decak kagum para pemuda di Negeri Palembang.
Namun, tak seorang pun pemuda yang berani meminangnya, karena kedua
orang tuanya menginginkan ia menikah dengan putra raja yang kaya raya.
Pada suatu hari, datanglah seorang putra raja dari Negeri Cina
bernama Tan Bun Ann untuk berniaga di Negeri Palembang. Putra Raja Cina
itu berniat untuk tinggal beberapa lama di negeri itu, karena ia ingin
mengembangkan usahanya. Sebagai seorang pendatang, Tan Bun Ann datang
menghadap kepada Raja Sriwijaya untuk memberitahukan maksud
kedatangannya ke negeri itu.
“Ampun, Baginda! Nama hamba Tan Bun Ann, putra raja dari Negeri Cina.
Jika diperkenankan, hamba bermaksud tinggal di negeri ini dalam waktu
beberapa lama untuk berniaga,” kata Tan Bun Ann sambil memberi hormat.
“Baiklah, Anak Muda! Aku perkenankan kamu tinggal di negeri ini, tapi
dengan syarat kamu harus menyerahkan sebagian untung yang kamu peroleh
kepada kerajaan,” pinta Raja Sriwijaya.
Tan Bun Ann pun menyanggupi permintaan Raja Sriwijaya. Sejak itu,
setiap minggu ia pergi ke istana untuk menyerahkan sebagian keuntungan
dagangannya. Suatu ketika, ia bertemu dengan Siti Fatimah di istana.
Sejak pertama kali melihat wajah Siti Fatimah, Tan Bun Ann langsung
jatuh hati. Demikian sebaliknya, Siti Fatimah pun menaruh hati
kepadanya. Akhirnya, mereka pun menjalin hubungan kasih. Karena merasa
cocok dengan Siti Fatimah, Tan Bun Ann pun berniat untuk menikahinya.
Pada suatu hari, Tan Bun Ann pergi menghadap Raja Sriwijaya untuk melamar Siti Fatimah.
“Ampun, Baginda! Hamba datang menghadap kepada Baginda untuk meminta
restu. Jika diperkenankan, hamba ingin menikahi putri Baginda, Siti
Fatimah,” ungkap Tan Bun Ann.
Raja Sriwijaya terdiam sejenak. Ia berpikir bahwa Tan Bun Ann adalah seorang putra Raja Cina yang kaya raya.
“Baiklah, Tan Bun! Aku merestuimu menikah dengan putriku dengan satu syarat,” kata Raja Sriwijaya.
“Apakah syarat itu, Baginda?” tanya Tan Bun Ann penasaran.
“Kamu harus menyediakan sembilan guci berisi emas,” jawab Raja Sriwijaya.
Tanpa berpikir panjang, Tan Bun Ann pun bersedia memenuhi syarat itu.
“Baiklah, Baginda! Hamba akan memenuhi syarat itu,” kata Tan Bun Ann.
Tan Bun Ann pun segera mengirim utusan ke Negeri Cina untuk
menyampaikan surat kepada kedua orang tuanya. Selang beberapa waktu,
utusan itu kembali membawa surat balasan kepada Tan Bun Ann. Surat
balasan dari kedua orang tuanya itu berisi restu atas pernikahan mereka
dan sekaligus permintaan maaf, karena tidak bisa menghadiri pesta
pernikahan mereka. Namun, sebagai tanda kasih sayang kepadanya, kedua
orang tuanya mengirim sembilan guci berisi emas. Demi keamanan dan
keselamatan guci-guci yang berisi emas tersebut dari bajak laut, mereka
melapisinya dengan sayur sawi tanpa sepengetahuan Tan Bun Ann.
Saat mengetahui rombongan utusannya telah kembali, Tan Bun Ann dan
Siti Fatimah bersama keluarganya serta seorang dayang setianya segera
berangkat ke dermaga di Muara Sungai Musi untuk memeriksa isi kesembilan
guci tersebut. Setibanya di dermaga, Tan Bun Ann segera memerintahkan
kepada utusannya untuk menunjukkan guci-guci tersebut.
“Mana guci-guci yang berisi emas itu?” tanya Tan Bun Ann kepada salah seorang utusannya.
“Kami menyimpannya di dalam kamar kapal, Tuan!” jawab utusan itu
seraya menuju ke kamar kapal tempat guci-guci tersebut disimpan.
Setelah utusan itu mengeluarkan kesembilan guci tersebut dari kamar
kapal, Tan Bun Ann segera memeriksa isinya satu persatu. Betapa
terkejutnya ia setelah melihat guci itu hanya berisi sayur sawi yang
sudah membusuk.
“Oh, betapa malunya aku pada calon mertuaku. Tentu mereka akan merasa
diremehkan dengan barang busuk dan berbau ini,” kata Tan Bun Ann dalam
hati dengan perasaan kecewa seraya membuang guci itu ke Sungai Musi.
Dengan penuh harapan, Tan Bun Ann segera membuka guci yang lainnya.
Namun, harapan hanya tinggal harapan. Setelah membuka guci-guci tersebut
ternyata semuanya berisi sayur sawi yang sudah membusuk. Bertambah
kecewalah hati putra Raja Cina itu. Dengan perasaan kesal, ia segera
melemparkan guci-guci tersebut ke Sungai Musi satu persatu tanpa
memeriksanya terlebih dahulu. Ketika ia hendak melemparkan guci yang
terakhir ke sungai, tiba-tiba kakinya tersandung sehingga guci itu jatuh
ke lantai kapal dan pecah. Betapa terkejutnya ia saat melihat emas-emas
batangan terhambur keluar dari guci itu. Rupanya di bawah sawi-sawi
yang telah membusuk tersebut tersimpan emas batangan. Ia bersama seorang
pengawal setianya segera mencebur ke Sungai Musi hendak mengambil
guci-guci yang berisi emas tersebut.
Melihat hal itu, Siti Fatimah segera berlari ke pinggir kapal hendak
melihat keadaan calon suaminya. Dengan perasaan cemas, ia menunggu calon
suaminya itu muncul di permukaan air sungai. Karena orang yang sangat
dicintainya itu tidak juga muncul, akhirnya Siti Fatimah bersama
dayangnya yang setia ikut mencebur ke sungai untuk mencari pangeran dari
Negeri Cina itu. Sebelum mencebur ke sungai, ia berpesan kepada orang
yang ada di atas kapal itu.
“Jika ada tumpukan tanah di tepian sungai ini, berarti itu kuburan saya,” demikian pesan Siti Fatimah.
Beberapa hari setelah peristiwa tersebut, muncullah tumpukan tanah di
tepi Sungai Musi. Lama kelamaan tumpukan itu menjadi sebuah pulau.
Masyarakat setempat menyebutnya Pulo Kemaro. Pulo Kemaro dalam bahasa
Indonesia berarti Pulau Kemarau. Dinamakan demikian, karena pulau
tersebut tidak pernah digenangi air walaupun volume air di Sungai Musi
sedang meningkat.
* * *
Demikianlah Legenda Pulo Kemaro dari daerah Palembang, Sumatra
Selatan. Pulau Kemaro yang terletak sekitar lima kilo meter di sebelah
timur Kota Palembang ini memiliki luas kurang lebih 24 hektar. Kini,
Pulau Kemaro menjadi salah satu obyek wisata menarik, khususnya wisata
budaya dan religius, di Palembang. Setiap perayaan Cap Go Meh (15 hari
setelah Imlek) ribuan masyarakat Cina (baik dari dalam maupun luar
negeri seperti Malaysia, Singapura, Thailand, dan Cina) datang
berkunjung ke Pulau Kemaro untuk melakukan sembahyang atau berziarah. Di
pulau itu terdapat sebuah kuil sebagai tempat peribadatan, dan di
dalamnya terdapat gundukan tanah yang diyakini makam Siti Fatimah, dan
dua gundukan tanah yang agak kecil yang diyakini makam pengawal Tan Bun
Ann dan makam dayang Siti Fatimah.
Di Pulau Kemaro juga terdapat sebuah pohon langka yang disebut “Pohon
Cinta”, yang dilambangkan sebagai ritus “cinta sejati” antara dua
bangsa dan budaya berbeda pada zaman dahulu, yaitu antara Siti Fatimah
dari Negeri Palembang dan Tan Bun Ann dari Negeri Cina. Konon, jika
pasangan muda-mudi yang sedang menjalin hubungan kasih mengukir nama
mereka di pohon itu, maka cinta mereka akan berlanjut sampai ke
pelaminan. Itulah sebabnya, pulau ini disebut juga “Pulau Jodoh”.
Pelajaran yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa sikap
ketergesa-gesaan dapat membuat seseorang kurang teliti dalam melakukan
sesuatu, sehingga pekerjaan atau masalah yang dihadapinya tidak mampu
diselesaikannya. Hal ini ditunjukkan oleh sikap Tan Bun Ann yang karena
tidak ketidaksabarannya ingin menunjukkan emas tersebut kepada Raja
Sriwijaya, sehingga membuatnya kurang teliti ketika memeriksa guci-guci
tersebut. Akibatnya, guci-guci yang berisi emas batangan tersebut
dibuangnya ke sungai, yang pada akhirnya menyebabkan ia tenggelam dan
tewas.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar